Dalam menjalankan berbagai akad, kita seringkali mensyaratkan berbagai persyaratan. Bila kita cermati persyaratan-persyaratan yang biasa terjadi dalam perniagaan, niscaya kita akan dapatkan ada dua macam persyaratan:
Persyaratan yang dituangkan dengan tegas secara lisan atau tulisan dalam akad penjualan.
Persyaratan yang tidak dituangkan secara tulisan atau lisan dalam akad penjualan, akan tetapi persyaratan itu telah diketahui dan diamalkan oleh seluruh lapisan masyarakat (baca I’lamul Muwaqqi’in oleh Ibnul Qayyim, 2/414, Asy-Syarhul Mumti’ oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, 9/11 dan Dirasatun Syar’iyyah oleh Dr. Muhammad Musthafa as Syanqithy, 1/50-53). Para ulama menuangkan hukum persyaratan jenis kedua ini dalam suatu kaidah,
المعروف عرفا كالمشروط شرطا
“Sesuatu yang telah diketahui secara bersama, bagaikan hal yang telah ditegaskan dalam persyaratan.”
Sebagai contoh bagi persyaratan jenis kedua, bila suatu masyarakat memiliki tradisi bahwa dalam jual beli barang mebel dan yang serupa, penjual berkewajiban mengantarkan mebel yang telah dibeli ke rumah pembeli, tanpa tambahan biaya, maka tradisi ini memiliki kekuatan hukum sehingga harus dijalankan. Dengan demikian, penjual (toko) berkewajiban mengantarkan barang yang telah terbeli ke rumah pembeli, walaupun ketika akad pembelian kedua belah pihak tidak menyinggung-nyinggung sama sekali servis antar ini. Karena, kebiasaan masyarakat ini bagaikan salah satu persyaratan yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam akad jual beli mereka, sehingga kebiasaan ini wajib diindahkan oleh kedua belah pihak.
Kaitan pembahasan hal ini dengan hukum riba adalah setiap faidah atau tambahan yang dipersyaratkan dari suatu piutang, baik dipersyaratkan secara tertulis sebagai persyaratan atau telah menjadi tradisi pelaku akad, maka semuanya dikategorikan sebagai riba. Misalnya, seseorang yang telah dikenal bahwa ia tidak sudi untuk mengutangkan uangnya kepada orang lain, kecuali bila pengutang memberikan bunga 10%, maka kebiasaannya tersebut telah menjadi persyaratan yang mempengaruhi hukum akad utang piutangnya, dan status bunga yang ia ambil adalah riba.
Oleh karena itu, tatkala praktik riba telah merajalela di negeri Irak, maka sahabat Abdullah bin Salam radhiallahu ‘anhu berpesan kepada Abu Burdah untuk tidak menerima hadiah yang diberikan oleh pengutang,
عن أبي بردة قال قدمت المدينة، فلقيت عبد الله بن سلام، فقال: انطلق معي المنزل فأسقيك في قدح شرب فيه رسول الله صلّى الله عليه وسلّم، وتصلي في مسجد صلى فيه؟ فانطلقت معه، فسقاني سويقا، وأطعمني تمرا، وصليت في مسجده. فقال لي: إنك في أرض، الربا فيها فاش، وإن من أبواب الربا: أن أحدكم يقرض القرض إلى أجل، فإذا بلغ أتاه به، وبسلة فيها هدية، فاتق تلك السلة وما فيها. رواه البخاري والبيهقي
“Dari Abu Burdah, ia mengisahkan, ‘Aku tiba di Madinah, lalu aku berjumpa dengan Abdullah bin Salam, maka beliau berkata (kepadaku), ‘Mari singgah ke rumahku, dan akan aku hidangkan untukmu minuman di bejana yang pernah digunakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk minum, dan engkau dapat menunaikan shalat di tempat yang pernah beliau gunakan untuk shalat.’ Maka, akupun pergi bersamanya. Lalu ia memberiku minuman dari gandum (sawiq), dan menghidangkan untukku kurma, dan aku menunaikan shalat di tempat ia shalat (mushalla dalam rumah-pen.). Selanjutnya beliau berpesan kepadaku, ‘Sesungguhnya engkau tinggal di suatu negeri yang padanya praktik riba merajalela, dan sesungguhnya di antara pintu-pintu riba ialah seseorang dari kalian memberikan piutang hingga tempo tertentu, dan bila telah jatuh tempo, penghutang datang dengan uang yang ia hutang sambil membawa serta keranjang yang berisikan hadiah, maka hendaknya engkau menghindari keranjang beserta isinya itu.” (HR. Bukhari dan al-Baihaqi).
Bila kita amati, maka kita akan dapatkan bahwa nasabah yang menabungkan dananya di bank syariah agar mendapatkan bagian hasil, -biasanya atau bahkan semuanya- tidak sudi bila dananya terkurangi walau pihak bank mengalami kerugian. Dengan demikian, berdasarkan kaidah ini -walau tidak dituliskan atau diucapkan-, maka bunga yang diberikan oleh bank kepada nasabah adalah riba, dan bukan bagi hasil.
Adapun bila tidak ada persyaratan yang tertulis atau terucap, juga tidak ada tradisi sebelumnya, maka penghutang ketika saat pelunasan dibenarkan untuk memberikan hadiah sebagai ungkapan terima kasih. Hal ini berdasarkan hadits riwayat Abu Rafi’ radhiallahu ‘anhu berikut,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلّى الله عليه وسلّم اسْتَسْلَفَ من رَجُلٍ بَكْرًا، فَقَدِمَتْ عليه إِبِلٌ من إِبِلِ الصَّدَقَةِ، فَأَمَرَ أَبَا رَافِعٍ أَنْ يَقْضِيَ الرَّجُلَ بَكْرَهُ، فَرَجَعَ إليه أبو رَافِعٍ، فقال: لم أَجِدْ فيها إلا خِيَارًا رَبَاعِيًا، فقال: أَعْطِهِ إِيَّاهُ إِنَّ خِيَارَ الناس أَحْسَنُهُمْ قَضَاءً. رواه مسلم
“Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berhutang seekor anak unta dari seseorang, lalu datanglah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam unta-unta zakat, maka beliau memerintahkan Abu Rafi’ untuk menyerahkan anak untanya kepada orang tersebut. Tak selang beberapa saat, Abu Rafi’ kembali menemui beliau dan berkata, ‘Aku hanya mendapatkan unta yang telah genap berumur enam tahun.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, ‘Berikanlah unta itu kepadanya, karena sebaik-baik manusia adalah orang yang paling baik pada saat melunasi piutangnya.” (HR. Muslim)
Imam an-Nawawi berkata, “Pada hadits ini terdapat pelajaran, bahwa orang yang berhutang disunahkan untuk membayar hutang dengan yang lebih baik dari piutang yang sebenarnya ia tanggung. Perbuatan ini termasuk hal yang disunahkan dan akhlak terpuji, serta tidak termasuk dalam piutang yang mendatangkan kemanfaatan yang terlarang. Karena yang dilarang ialah kemanfaatan yang dipersyaratkan pada saat akad piutang. Menurut madzhab kita (madzhab Syafi’i), disunahkan untuk memberikan tambahan pada saat pelunasan melebihi jumlah piutang yang sebenarnya. Sebagaimana diperbolehkan pula bagi pemberi piutang untuk menerima tambahan tersebut, baik tambahan berupa kriteria yang lebih baik, atau tambahan dalam jumlah, misalnya menghutangi sepuluh, lalu penghutang memberinya sebelas dinar.” (Syarah Shahih Muslim oleh Imam an-Nawawi asy-Syafi’i, 11/37).
Keterangan serupa juga disampaikan oleh Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathu al-Bari, bahkan beliau memberikan tambahan penting, yaitu diharamkannya tambahan yang dipersyaratkan pada akad piutang adalah suatu hukum yang telah disepakati oleh seluruh ulama (Fathu al-Bari oleh Ibnu Hajar al-Asqalani, 5/67).
Penulis: Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri
Artikel: www.PengusahaMuslim.com